Berburu Harta Karun Di Laut Indonesia
Hallo sobat Blogger,kali ini Mba Meong akan cerita tentang kekayaan laut Indonesia yang menyimpan harta karun yang nilainya sangat banyak.Ada lebih dari 500 ribu kapal tenggelam di perairan Indonesia, salah satunya adalah kapal Tek Sing yang membawa harta karun.Pada tahun 2010 lalu, pemerintah Indonesia bersengketa dengan pemburu harta karun Michael Hatcher, soal harta dari kapal karam Tek Sing yang bernilai triliunan rupiah. Harta karun paling heboh itu kini bersemayam di Museum Nasional. 1822 Adalah tahun naas bagi Kapal Tek Sing dari China. Kapal megah ini tenggelam bersama muatannya yang berharga di perairan Bangka Belitung. 177 Tahun kemudian, seorang pemburu harta karun asal Australia pun menjadi pemburu harta karun kapal tersebut.
Berdasarkan data dari Museum Nasional, Tek Sing adalah kapal China berbobot 1.000 ton dengan ukuran 50x10 meter. Sbuah majalah Jerman, Der Spiegel pun menyebut kapal ini sebagai "Titanic abad ke-19". Besarnya kapal ini diikuti dengan banyaknya barang yang diangkutnya. Namun Dewi Fortuna sedang tidak berpihak pada kapal ini. Sehingga pada perjalanannya di Laut China Selatan, kapal Tek Sing tenggelam.
Kapal ini menabrak sebuah karang di Selat Gelasa, Bangka Belitung. Seratus tahun kemudian, kisah kapal karam ini terdengar hingga telinga seorang Australia yang berkebangsaan Inggris bernama Michael Hatcher. Tahun 1999, Hatcher menyewa beberapa arkeologi mancanegara untuk mempelajari arsip-arsip VOC. Berbekal informasi tersebut, mereka pun menyelam di perairan Bangka Belitung dan menemukan harta karun yang nilainya ditaksir hingga 30 juta dolar AS.
Dalam perburuan harta karun tersebut, Hatcher menemukan sekitar 1 juta potong keramik dari abad ke-18 dan 19. Ia juga menemukan meriam, barang-barang kuningan dan perunggu, jam saku, wadah tinta, dudukan lilin, pisau lipat, uang dan lain-lain. Seluruh harta karun ini kemudian dilelang di Balai Lelang Nagel di Stuttgart, Jerman.
Pelelangan yang berlangsung tahun 2000 itu mendapat atensi masyarakat dunia karena dianggap sebagai penemuan besar. Dalam pelelangan tersebut, dibuatlah replika Kapal Tek Sing yang dipasang di tengah Stasiun Stuttgart. Kemeriahan ini sayangnya tidak berhembus hingga ke Indonesia.
"Iya, harta karun Tek Sing dicuri," tutur Kepala Museum Nasional, Intan Mardiana saat ditemui detikTravel di Museum Nasional. Namun pencurian ini akhirnya tercium juga saat ada laporan dari Australian Federal Police. Mereka melaporkan, ada 43 kontainer berisi keramik antik China dari Belitung yang ditolak masuk ke Pelabuhan Adelaide, Australia. Pemerintah Indonesia bergerak cepat dengan langsung menghubungi pihak lelang di Stuttgart.
Kasus harta karun Tek Sing menjadi kasus yang paling heboh di Tanah Air karena menarik perhatian media nasional pada 2010 dan disorot berbagai pihak mulai dari masyarakat sampai politisi. Tak kurang, Kementerian Kelautan dan Perikanan saat itu mendapat sorotan karena dianggap publik telah lambat bertindak.
Tapi nasi sudah menjadi bubur. Banyak sekali barang dari Tek Sing yang sudah laku dilelang. Malah, semua barang berharga telah sukses pindah ke tangan pemilik baru. Akhirnya, Balai Lelang Nagel hanya memberikan sejumlah keramik yang jadi sisa pelelangan isi kapal tersebut. Kini, barang-barang tersebut jadi koleksi Museum Nasional.
Kisah Michael Hatcher Si Pemburu Harta Karun
Pemburu harta karun, Michael Hatcher yang telah berusia 70 tahun ini dianggap telah mencuri pundi-pundi harta yang ada di dasar laut Indonesia. Kini, dia dicegah keluar dari Indonesia.
Ternyata, sosok kontroversial Hatcher tak hanya tenar di Indonesia. Dia juga pernah membuat pemerintah China syok. Bahkan, bagi dunia arkeologi bawah laut China, nama Michael Hatcher berarti bencana.
Seperti dimuat laman berita China.org.cn, perseteruan Hatcher dengan China dimulai ketika pria Australia itu menemukan Kapal Geldermalsten di Kepulauan Riau pada Mei 1985.
Geldermasten adalah kapal buatan 1746 milik perusahaan dagang Belanda, VOC yang mengarungi rute Guandong dan Belanda. Selain memuat teh berharga, kapal itu juga memuat emas dan porselen berkualitas tinggi. Pada 1752, kapal tersebut tenggelam.
Hatcher berhasil mengangkat emas dalam jumlah banyak dari kapal tersebut dan lebih dari 150.000 porselen.
Namun, pemerintah China dibuat syok, ketika mengetahui harta itu dilelang di balai lelang Cristie, Amsterdam. Pemerintah China tak punya daya untuk mengambil kembali harta nenek moyangnya itu.
Setelah tragedi Geldermasten, pemerintah China membentuk tim arkeologi untuk melacak dan menyelamatkan harta karun sebelum keduluan para pemburu harta seperti Hatcher.
“Meski kami tujuannya sama, untuk menemukan harta karun, ada perbedaan esensial antara arkeolog dan pemburu harta. Arkeolog menemukan untuk menjaga harta itu, sementara pemburu harta berusaha mencari keuntungan sebesar mungkin,” kata Direktur Pusat Arkeologi Bawah Laut China, Zhang Wei.
Seperti halnya China, Indonesia pun direpotkan. Temuan Hatcher memicu perdebatan dua negara, RI dan Belanda soal siapa yang berhak mendapat bagian dari harta karun itu. Belanda yang merasa sebagai pewaris mengajukan dalil, kapal Geldermalsen ditemukan di perairan internasional. Indonesia kalah telak dan tidak mendapat satu senpun.
Belajar dari kasus itu, pemerintah lalu membentuk Panitia Nasional Barang Berharga Muatan Kapal Tenggelam (BMKT) untuk menghindari penjarahan harta karun.
Apa yang dikatakan Zhang Wei, bahwa pemburu harta bekerja untuk cari untung, terbukti. Pada 1999, Hatcher menyewa beberapa ahli arkeologi untuk mempelajari arsip-arsip VOC. Kemudian, secara kebetulan, dia menemukan catatan tentang kapal Tek Sing, yang tenggelam pada 1822 di Laut China Selatan, wilayah Indonesia.
Tragedi kapal Tek Sing lebih banyak makan korban jiwa dibandingkan tenggelamnya kapal Titanic. Kapal itu lantas dikenal sebagai ‘Oriental Titanic’.
Kapal sepanjang 50 meter dan lebar 10 meter tenggelam ketika mengangkut ribuan ton barang yang terdiri dari lebih dari sejuta porselen berkualitas tinggi buatan Jingdezhen.
Selain itu juga ditemukan porselen buatan masa kekaisaran Kangxi (1662-1722).
Temuan hampir sejuta porselen sangat mengejutkan. Lebih mengejutkan lagi ketika Hatcher memerintahkan anak buahnya untuk menghancurkan sekitar 600.000 porselen, hanya sekitar 365.000 yang dipertahankan.
Itu dilakukan demi meraup banyak untung. Sebab, makin langka barang makin tinggi harganya. Benar saja, dalam sembilan hari pelelangan, Hatcher meraup uang sebesar Us$ 30 juta.
Kini nama Hatcher kembali tenar sebagai penjarah harta karun.
Dia diduga berada di perairan Blanakan, Subang. Diperkirakan, dia baru saja menemukan harta karun dari Dinasti Ming yang tenggelam di perairan itu. Nilainya diperkirakan lebih dari US$ 200 juta. Jika berhasil diangkat, ini pencapaian tertinggi Hatcher sebagai pemburu harta karun.
Hatcher, yang dibesarkan di sebuah panti asuhan bahasa Inggris, mendirikan perusahaan penyelamat kapal pada 1970. Asalnya dia mencari barang-barang peninggalan Perang Dunia II, mengumpulkan timah, karet, dan besi bekas.
Setelah menemukan harta karun di kapal tua yang tenggelam, dia lalu banting setir. Kini dia fokus mencari harta di bangkai kapal tua.
Berdasarkan data dari Museum Nasional, Tek Sing adalah kapal China berbobot 1.000 ton dengan ukuran 50x10 meter. Sbuah majalah Jerman, Der Spiegel pun menyebut kapal ini sebagai "Titanic abad ke-19". Besarnya kapal ini diikuti dengan banyaknya barang yang diangkutnya. Namun Dewi Fortuna sedang tidak berpihak pada kapal ini. Sehingga pada perjalanannya di Laut China Selatan, kapal Tek Sing tenggelam.
Kapal ini menabrak sebuah karang di Selat Gelasa, Bangka Belitung. Seratus tahun kemudian, kisah kapal karam ini terdengar hingga telinga seorang Australia yang berkebangsaan Inggris bernama Michael Hatcher. Tahun 1999, Hatcher menyewa beberapa arkeologi mancanegara untuk mempelajari arsip-arsip VOC. Berbekal informasi tersebut, mereka pun menyelam di perairan Bangka Belitung dan menemukan harta karun yang nilainya ditaksir hingga 30 juta dolar AS.
Dalam perburuan harta karun tersebut, Hatcher menemukan sekitar 1 juta potong keramik dari abad ke-18 dan 19. Ia juga menemukan meriam, barang-barang kuningan dan perunggu, jam saku, wadah tinta, dudukan lilin, pisau lipat, uang dan lain-lain. Seluruh harta karun ini kemudian dilelang di Balai Lelang Nagel di Stuttgart, Jerman.
Pelelangan yang berlangsung tahun 2000 itu mendapat atensi masyarakat dunia karena dianggap sebagai penemuan besar. Dalam pelelangan tersebut, dibuatlah replika Kapal Tek Sing yang dipasang di tengah Stasiun Stuttgart. Kemeriahan ini sayangnya tidak berhembus hingga ke Indonesia.
"Iya, harta karun Tek Sing dicuri," tutur Kepala Museum Nasional, Intan Mardiana saat ditemui detikTravel di Museum Nasional. Namun pencurian ini akhirnya tercium juga saat ada laporan dari Australian Federal Police. Mereka melaporkan, ada 43 kontainer berisi keramik antik China dari Belitung yang ditolak masuk ke Pelabuhan Adelaide, Australia. Pemerintah Indonesia bergerak cepat dengan langsung menghubungi pihak lelang di Stuttgart.
Kasus harta karun Tek Sing menjadi kasus yang paling heboh di Tanah Air karena menarik perhatian media nasional pada 2010 dan disorot berbagai pihak mulai dari masyarakat sampai politisi. Tak kurang, Kementerian Kelautan dan Perikanan saat itu mendapat sorotan karena dianggap publik telah lambat bertindak.
Tapi nasi sudah menjadi bubur. Banyak sekali barang dari Tek Sing yang sudah laku dilelang. Malah, semua barang berharga telah sukses pindah ke tangan pemilik baru. Akhirnya, Balai Lelang Nagel hanya memberikan sejumlah keramik yang jadi sisa pelelangan isi kapal tersebut. Kini, barang-barang tersebut jadi koleksi Museum Nasional.
Kisah Michael Hatcher Si Pemburu Harta Karun
Pemburu harta karun, Michael Hatcher yang telah berusia 70 tahun ini dianggap telah mencuri pundi-pundi harta yang ada di dasar laut Indonesia. Kini, dia dicegah keluar dari Indonesia.
Ternyata, sosok kontroversial Hatcher tak hanya tenar di Indonesia. Dia juga pernah membuat pemerintah China syok. Bahkan, bagi dunia arkeologi bawah laut China, nama Michael Hatcher berarti bencana.
Seperti dimuat laman berita China.org.cn, perseteruan Hatcher dengan China dimulai ketika pria Australia itu menemukan Kapal Geldermalsten di Kepulauan Riau pada Mei 1985.
Geldermasten adalah kapal buatan 1746 milik perusahaan dagang Belanda, VOC yang mengarungi rute Guandong dan Belanda. Selain memuat teh berharga, kapal itu juga memuat emas dan porselen berkualitas tinggi. Pada 1752, kapal tersebut tenggelam.
Hatcher berhasil mengangkat emas dalam jumlah banyak dari kapal tersebut dan lebih dari 150.000 porselen.
Namun, pemerintah China dibuat syok, ketika mengetahui harta itu dilelang di balai lelang Cristie, Amsterdam. Pemerintah China tak punya daya untuk mengambil kembali harta nenek moyangnya itu.
Setelah tragedi Geldermasten, pemerintah China membentuk tim arkeologi untuk melacak dan menyelamatkan harta karun sebelum keduluan para pemburu harta seperti Hatcher.
“Meski kami tujuannya sama, untuk menemukan harta karun, ada perbedaan esensial antara arkeolog dan pemburu harta. Arkeolog menemukan untuk menjaga harta itu, sementara pemburu harta berusaha mencari keuntungan sebesar mungkin,” kata Direktur Pusat Arkeologi Bawah Laut China, Zhang Wei.
Seperti halnya China, Indonesia pun direpotkan. Temuan Hatcher memicu perdebatan dua negara, RI dan Belanda soal siapa yang berhak mendapat bagian dari harta karun itu. Belanda yang merasa sebagai pewaris mengajukan dalil, kapal Geldermalsen ditemukan di perairan internasional. Indonesia kalah telak dan tidak mendapat satu senpun.
Belajar dari kasus itu, pemerintah lalu membentuk Panitia Nasional Barang Berharga Muatan Kapal Tenggelam (BMKT) untuk menghindari penjarahan harta karun.
Apa yang dikatakan Zhang Wei, bahwa pemburu harta bekerja untuk cari untung, terbukti. Pada 1999, Hatcher menyewa beberapa ahli arkeologi untuk mempelajari arsip-arsip VOC. Kemudian, secara kebetulan, dia menemukan catatan tentang kapal Tek Sing, yang tenggelam pada 1822 di Laut China Selatan, wilayah Indonesia.
Tragedi kapal Tek Sing lebih banyak makan korban jiwa dibandingkan tenggelamnya kapal Titanic. Kapal itu lantas dikenal sebagai ‘Oriental Titanic’.
Kapal sepanjang 50 meter dan lebar 10 meter tenggelam ketika mengangkut ribuan ton barang yang terdiri dari lebih dari sejuta porselen berkualitas tinggi buatan Jingdezhen.
Selain itu juga ditemukan porselen buatan masa kekaisaran Kangxi (1662-1722).
Temuan hampir sejuta porselen sangat mengejutkan. Lebih mengejutkan lagi ketika Hatcher memerintahkan anak buahnya untuk menghancurkan sekitar 600.000 porselen, hanya sekitar 365.000 yang dipertahankan.
Itu dilakukan demi meraup banyak untung. Sebab, makin langka barang makin tinggi harganya. Benar saja, dalam sembilan hari pelelangan, Hatcher meraup uang sebesar Us$ 30 juta.
Kini nama Hatcher kembali tenar sebagai penjarah harta karun.
Dia diduga berada di perairan Blanakan, Subang. Diperkirakan, dia baru saja menemukan harta karun dari Dinasti Ming yang tenggelam di perairan itu. Nilainya diperkirakan lebih dari US$ 200 juta. Jika berhasil diangkat, ini pencapaian tertinggi Hatcher sebagai pemburu harta karun.
Hatcher, yang dibesarkan di sebuah panti asuhan bahasa Inggris, mendirikan perusahaan penyelamat kapal pada 1970. Asalnya dia mencari barang-barang peninggalan Perang Dunia II, mengumpulkan timah, karet, dan besi bekas.
Setelah menemukan harta karun di kapal tua yang tenggelam, dia lalu banting setir. Kini dia fokus mencari harta di bangkai kapal tua.